Berita Kampus Sekolah Tinggi Theologia Jaffray Untuk Sahabat, Gereja, Alumni, dan Civitas Akademika
Thursday, December 15, 2011
Sunday, December 11, 2011
Memilih Sekolah Teologi yang Baik
Sama seperti memilih perguruan tinggi pada umumnya, maka kita pun diminta hati-hati memilih sekolah teologi. Mengapa? Ini dikarenakan sekolah teologi yang berdiri di Indonesia makin menjamur. Menurut catatan Kemenag ada 300-an lebih sekolah teologi di Indonesia dan ada sebagian yang belum terdaftar dan memiliki izin penyelenggaraan. Seharusnya pendidikan teologi dijalankan dengan jujur karena berbicara atas nama Tuhan, tetapi ada banyak sekolah teologi dibuat asal-asalan, bahkan dibuat hanya untuk mendapat keuntungan dengan menjual ijazah kesarjanaan.
Bila demikian, bagaimana memilih sekolah teologi yang baik? Jika dulu kita hanya mengandalkan sekolah sinode, maka kini kita harus lebih hati-hati dan jeli. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih sekolah teologi. Tips ini hanya dasarnya saja dalam memilih, tentu sekolah teologi harus memiliki system mutu yang baku. Namun setidaknya, ini hal dasar dan prinsip awal dalam memilih sekolah teologi:
1. Status sekolah yang jelas
Sekolah yang baik memiliki status pendirian yang jelas baik dari sinode gereja atau yayasan. Lalu kemudian memiliki status izin penyelenggaraan dari pemerintah baik dari Kopertis atau Kemenag. Dan yang baik bila sekolah itu sudah diakreditasi BAN (Badan Akreditasi nasional). Ini penting karena pemerintah di tahun 2012 berencana menertibkan semua perguruan tinggi liar dan akan menerapkan sanksi bagi yang mengeluarkan dan memberikan gelar tanpa izin. Yang lebih penting, status itu sebenarnya untuk memastikan bahwa sekolah ini memang layak mendidik hamba-hamba Tuhan dan masyarakat gereja tidak dirugikan.
2. Jangan cari sekolah instan
Untuk jadi sarjana teologi S1 minimal dibutuhkam 4.5-5 tahun. Dan S2 minimal 2-4 tahun. Ini merupakan standar pendidikan tinggi umumnya, dan sekolah teologi lebih lama karena harus praktek minimal 6 bulan di gereja. Namun sangat disayangkan, banyak sekolah teologi memberikan gelar sarjana cukup sekolah hanya 6 bulan sampai 1 tahun untuk S1 dan 3 bulan untuk S2. Kurikulum tidak jelas, mengajar juga hanya asal-asalan dan formalitas. Jadi ada sekolah teologi hanya jualan ijazah. Sekolah seperti ini tidak layak dapat izin dan Kemenag dalam hal ini Ditjen Bimas Kristen harus memberikan sanksi dan mengadakan pengawasan yang benar-benar melekat dan tidak asal-asal mengeluarkan izin.
3. Dosen yang mengajar memenuhi persyaratan
Ada beberapa sekolah teologi membuat brosur dengan begitu banyak nama dosen dan gelar-gelarnya yang wah… luar biasa. Tapi kenyataan di lapangan membuktikan bahwa nama itu hanya pajangan dan hanya dosen tamu saja. Padahal sebuah prodi (program studi) minimal harus memiliki 6 dosen tetap. Tidak bisa sekolah teologi panggil dosen tamu saja dan tidak ada dosen tetap yang memadai. Saya pernah tahu ada sekolah teologi hanya 3 dosen tetapnya (si Ketua, istrinya dan satu stafnya). Sisanya semua dosen tamu. Sungguh tidak layak sekolah teologi berdiri dengan dosen asal-asalan. Padahal seorang dosen harus memiliki kesarjanaan yang mumpuni, punya pengalaman pelayanan, lalu ketika masuk ke dunia pendidikan haru mengikuti berbagai keterampilan mengajar seperti PEKERTI, AA, dan seterusnya. Bahkan diharapkan setiap dosen memiliki kepangkatan akademik dan sertifikasi dosen. Tujuannya agar seorang dosen menyadari fungsinya ada tiga yaitu mengajar, meneliti (research), dan melakukan pengabdian kepada masyarakat dan gereja (Tri Darma Perguruan Tinggi).
4. Ada lokasi sekolah dan fasilitas memadai
Sekolah teologi harus punya fasilitas pendidikan yang memadai yaitu kelas-kelas, perpustakaan dan berbagai sarana lainnya. Sayang ada sekolah teologi yang lokasinya tidak jelas, pakai rumah ketua yayasan, kontrak ruko kecil yang sangat tidak layak. Padahal paraturan pemerintah mensyaratkan adanya kepemilikan tempat sarana dan prasarana, atau jika menyewa minimal kontrak 5 tahun dan bisa dilanjutkan kemudian. Gereja dan orang tua seharusnya tidak mengutus anaknya ke sekolah teologi yang tidak jelas lokasinya dan minim sarana belajarnya.
5. Ada pembinaan rohani
Sekolah teologi berbeda dengan perguruan tinggi lainnya, di mana pembentukan mahasiswa tidak hanya soal intelektual saja. Harus ada pembinaan rohani seperti ibadah kapel, ibadah doa, berbagai seminar dan lokakarya, ada “mission trip” untuk melatih melayani, dan yang paling pentinf adanya disiplin yang baik. Orang tua dan gereja dalam memilih sekolah teologi harus mencari tahu apakah ada disiplin dan pembinaan rohani bagi anaknya. Jangan hanya berfokus kepada pendidikan intelektual saja tetapi pembinaan secara menyeluruh.
Jadi, panggilan seseorang menjadi hamba Tuhan harus dibarengi dengan kewaspadaan dalam memilih sekolah teologi, terutama yang dibuat asal-asalan. Jangan terlena dengan berbagai promosi yang menggiurkan karena sarjana teologi harus benar-benar ditempa menjadi serupa dengan Kristus dan bukan hanya kejar ijazah! Kiranya pemerintah, dalam hal ini Ditjen Bimas Kristen sudah waktunya bergerak untuk mengawasi dan menertibkan sekolah teologi asal-asalan. Gereja, dalam hal ini sinode gereja jangan berdiam diri, namun mengevaluasi kinerja sekolah teologi yang diasuhnya dan mengawasi sekolah teologi yang diterima sebagai pengerja di gerejanya. Gereja tidak bias lagi diam dan kompromi, bahkan harus bertanggung jawab atas kerusakan pemimpin gereja yang terbentuk asal-asalan. Jangan sampai nama Tuhan dan gereja dipermalukan.
Bila demikian, bagaimana memilih sekolah teologi yang baik? Jika dulu kita hanya mengandalkan sekolah sinode, maka kini kita harus lebih hati-hati dan jeli. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih sekolah teologi. Tips ini hanya dasarnya saja dalam memilih, tentu sekolah teologi harus memiliki system mutu yang baku. Namun setidaknya, ini hal dasar dan prinsip awal dalam memilih sekolah teologi:
1. Status sekolah yang jelas
Sekolah yang baik memiliki status pendirian yang jelas baik dari sinode gereja atau yayasan. Lalu kemudian memiliki status izin penyelenggaraan dari pemerintah baik dari Kopertis atau Kemenag. Dan yang baik bila sekolah itu sudah diakreditasi BAN (Badan Akreditasi nasional). Ini penting karena pemerintah di tahun 2012 berencana menertibkan semua perguruan tinggi liar dan akan menerapkan sanksi bagi yang mengeluarkan dan memberikan gelar tanpa izin. Yang lebih penting, status itu sebenarnya untuk memastikan bahwa sekolah ini memang layak mendidik hamba-hamba Tuhan dan masyarakat gereja tidak dirugikan.
2. Jangan cari sekolah instan
Untuk jadi sarjana teologi S1 minimal dibutuhkam 4.5-5 tahun. Dan S2 minimal 2-4 tahun. Ini merupakan standar pendidikan tinggi umumnya, dan sekolah teologi lebih lama karena harus praktek minimal 6 bulan di gereja. Namun sangat disayangkan, banyak sekolah teologi memberikan gelar sarjana cukup sekolah hanya 6 bulan sampai 1 tahun untuk S1 dan 3 bulan untuk S2. Kurikulum tidak jelas, mengajar juga hanya asal-asalan dan formalitas. Jadi ada sekolah teologi hanya jualan ijazah. Sekolah seperti ini tidak layak dapat izin dan Kemenag dalam hal ini Ditjen Bimas Kristen harus memberikan sanksi dan mengadakan pengawasan yang benar-benar melekat dan tidak asal-asal mengeluarkan izin.
3. Dosen yang mengajar memenuhi persyaratan
Ada beberapa sekolah teologi membuat brosur dengan begitu banyak nama dosen dan gelar-gelarnya yang wah… luar biasa. Tapi kenyataan di lapangan membuktikan bahwa nama itu hanya pajangan dan hanya dosen tamu saja. Padahal sebuah prodi (program studi) minimal harus memiliki 6 dosen tetap. Tidak bisa sekolah teologi panggil dosen tamu saja dan tidak ada dosen tetap yang memadai. Saya pernah tahu ada sekolah teologi hanya 3 dosen tetapnya (si Ketua, istrinya dan satu stafnya). Sisanya semua dosen tamu. Sungguh tidak layak sekolah teologi berdiri dengan dosen asal-asalan. Padahal seorang dosen harus memiliki kesarjanaan yang mumpuni, punya pengalaman pelayanan, lalu ketika masuk ke dunia pendidikan haru mengikuti berbagai keterampilan mengajar seperti PEKERTI, AA, dan seterusnya. Bahkan diharapkan setiap dosen memiliki kepangkatan akademik dan sertifikasi dosen. Tujuannya agar seorang dosen menyadari fungsinya ada tiga yaitu mengajar, meneliti (research), dan melakukan pengabdian kepada masyarakat dan gereja (Tri Darma Perguruan Tinggi).
4. Ada lokasi sekolah dan fasilitas memadai
Sekolah teologi harus punya fasilitas pendidikan yang memadai yaitu kelas-kelas, perpustakaan dan berbagai sarana lainnya. Sayang ada sekolah teologi yang lokasinya tidak jelas, pakai rumah ketua yayasan, kontrak ruko kecil yang sangat tidak layak. Padahal paraturan pemerintah mensyaratkan adanya kepemilikan tempat sarana dan prasarana, atau jika menyewa minimal kontrak 5 tahun dan bisa dilanjutkan kemudian. Gereja dan orang tua seharusnya tidak mengutus anaknya ke sekolah teologi yang tidak jelas lokasinya dan minim sarana belajarnya.
5. Ada pembinaan rohani
Sekolah teologi berbeda dengan perguruan tinggi lainnya, di mana pembentukan mahasiswa tidak hanya soal intelektual saja. Harus ada pembinaan rohani seperti ibadah kapel, ibadah doa, berbagai seminar dan lokakarya, ada “mission trip” untuk melatih melayani, dan yang paling pentinf adanya disiplin yang baik. Orang tua dan gereja dalam memilih sekolah teologi harus mencari tahu apakah ada disiplin dan pembinaan rohani bagi anaknya. Jangan hanya berfokus kepada pendidikan intelektual saja tetapi pembinaan secara menyeluruh.
Jadi, panggilan seseorang menjadi hamba Tuhan harus dibarengi dengan kewaspadaan dalam memilih sekolah teologi, terutama yang dibuat asal-asalan. Jangan terlena dengan berbagai promosi yang menggiurkan karena sarjana teologi harus benar-benar ditempa menjadi serupa dengan Kristus dan bukan hanya kejar ijazah! Kiranya pemerintah, dalam hal ini Ditjen Bimas Kristen sudah waktunya bergerak untuk mengawasi dan menertibkan sekolah teologi asal-asalan. Gereja, dalam hal ini sinode gereja jangan berdiam diri, namun mengevaluasi kinerja sekolah teologi yang diasuhnya dan mengawasi sekolah teologi yang diterima sebagai pengerja di gerejanya. Gereja tidak bias lagi diam dan kompromi, bahkan harus bertanggung jawab atas kerusakan pemimpin gereja yang terbentuk asal-asalan. Jangan sampai nama Tuhan dan gereja dipermalukan.
Thursday, December 1, 2011
QUO VADIS PASTI? CATATAN KRITIS ATAS KONGRES PASTI KE-8 2011
Oleh Daniel Ronda
Baru saja selesai perhelatan “besar” PASTI (Persekutuan Antar Sekolah Theologia Injili di Indonesia) yaitu kongres PASTI ke-8 yang berlangsung tanggl 28-30 November 2011 di Graha Bethel Jakarta. Perhelatan ini dirangkaikan dengan Simposium Teologi dengan tema menarik Multiplikasi dalam Perspektif Teologi Injili. Dalam Kongres ini agenda besar utama adalah pemilihan kepengurusan yang baru dan juga penyusunan program kerja 2011-2015. Dalam kongres ini terpilih kembali Dr. Hendrik J. Ruru sebagai Ketua Umum dan Pdt. Nasokhili Giawa sebagai Sekum. Tentunya kita mengucapkan selamat untuk kepengurusan yang baru, dan kiranya dapat benar-benar bekerja sesuai dengan visi dan misi PASTI.
Namun ada beberapa catatan kritis yang perlu diberikan dalam kongres kali ini:
Pertama, sangat minim sekali kehadiran anggota PASTI yang berjumlah 85 sekolah teologi. Dinyatakan bahwa tidak sampai 50% PTT yang hadir. Bahkan yang ironi, sekolah-sekolah senior dan yang tidak diragukan kualitasnya justru tidak hadir atau tidak mengirim utusan. Nama-nama seperti STTII, STT Baptis, I3, STT Reformed Injili, STT Bandung, dan lainnya justru tidak mengutus sama sekali utusannya. Hanya STT Jaffray baik Makassar dan Jakarta yang mengutus utusan. Bahkan saya sendiri sempat kaget, karena ketika bertemu dengan salah satu pemimpin sekolah teologi besar mengatakan bahwa kongres ini ditunda sampai tanggal 5 Desember. Itu juga menyebabkan ada yang tidak hadir. Yang juga disayangkan, tidak adanya wakil pemerintah yang hadir dalam pembukaan, padahal siangnya (28/11) saat hari pembukaan, saya sendiri sempat rapat dengan pejabat di Bimas Kristen Kemenag RI. Yang aneh adalah tidak ada juga pimpinan PGLII (lembaga Injili) yang hadir, di mana seharusnya PASTI menjadi sayap penting dalam perjuangan gereja-gereja Injili di bawah naungan PGLII. Bahkan yang paling ironi, sebagian besar sekolah-sekolah teologi yang hadir hanya mengutus staf mereka (baik puket maupun dosen biasa) untuk acara akbar 4 tahunan ini. Bisa dibayangkan kualitas sebuah kongres bila pucuk pimpinan pengambil keputusan tidak menghadiri kongres. Ini menjadi semacam kongres asal-asalan saja diadakan. Apalagi ada salah satu pengurus inti PASTI periode 2007-2011, jelas-jelas ada di Jakarta namun tidak menghadirinya. Meskipun demikian, pada satu sisi ego sekolah sekolah teologi yang merasa dirinya “hebat” harus diturunkan dengan mau menghadiri acara ini. Seharusnya kita hadir tanpa harus memiliki pretensi diangkat menjadi pejabat di kepengurusan PASTI. Lembaga ini adalah milik kita dan tanggung jawab bersama untuk membesarkannya. Para pemimpin STT harus mau bersama bersekutu dan jangan sibuk dengan urusan sendiri.
Kedua, terpilihnya Dr. Hendrik J. Ruru kembali menyisakan banyak pertanyaan dan keraguan apakah PASTI akan bisa jalan lebih baik atau jalan di tempat atau tidak tahu akan dibawa ke mana? Beliau adalah orang baik, kaum profesional, dan seorang yang memegang jabatan penting di perusahaan multinasional. Apalagi saat ini beliau lebih banyak tinggal di luar negeri dan mengajar hanya bersifat “block teaching”. Tentu kita tidak meragukan kapasitas profesi beliau. Tapi bukankah lebih baik kalau Dr. Arnold Tindas (dari STT Harvest) yang menjadi Ketua Umum dan bukan menjadi Wakil Ketua. Dapatkah seorang yang bergerak di bidang non pendidikan teologi menahkodai sebuah lembaga pendidikan teologi Injili yang pernah sangat diperhitungkan di Asia? Mengapa beliau diminta terus naik, padahal secara tertulis beliau sudah menyatakan tidak bersedia dan akhirnya beliau meralat atas desakan peserta? Inilah kesalahan besar dalam strategi kepemimpinan PASTI. Apalagi periode 2007-2011, kepengurusan PASTI hampir tidak melakukan apa-apa yang signifikan. Hal itu diakui oleh beberapa pengurus yang lalu di mana mereka mengaku jarang sekali rapat kecuali ketemu waktu simposium.
Ketiga, materi simposium teologi pun dibuat asal-asalan di mana pembicara sendiri tidak memiliki keahlian di bidangnya. Tema multiplikasi menjadi suatu hal yang tidak lebih dari kajian minim sumber terbaru, minim pemikiran original dan hampir miskin sumbangan ilmu, karena ada pembicara tidak memiliki keahlian di bidangnya sesuai tema. Jadi acara simposium tidak lebih dari ajang “menggurui” dan peserta pun malas berinteraksi dalam sesi tanya jawab. Ke depannya, diharapkan bahwa simposium harus mengundang orang sesuai keahlian dan jika tidak ada ahli maka bisa diadakan dialog di mana ada saling “curhat” tentang pergumulan-pergumulan sekolah teologi saat ini.
Keempat, PASTI tidak melibatkan mahasiswa dalam acara ini. Padahal sepatutnya diundang mahasiswa-mahasiswa untuk dapat belajar bagaimana berorganisasi dan bersekutu bersama. Perhatian terhadap teolog muda tidak diberikan peran semestinya dalam pertemuan PASTI ini.
Kelima, tidak adanya pernyataan-peryataan yang bersifat kritis tentang berbagai hal dalam penyelenggaraan PTT (Perguruan Tinggi Teologi) seperti: 1) maraknya pendidikan teologi yang dijalankan asal-asalan; 2) tidak adanya kritik dan pengingatan kepada pemerintah (dalam hal ini Kemenag RI Bimas Kristen) agar tidak mengeluarkan izin penyelenggaraan sekolah secara mudah dan sembarangan hanya karena mampu membayar; 3) Disinyalir bahwa mendapat gelar sarjana sangat mudah, bahkan ada sarjana yang bisa didapat dalam tempo 3 bulan sampai 1 tahun. Ini tidak beda dengan kursus-kursus. Kok bisa disejajarkan dengan S1? Praktik koruptif sekolah teologi dan bisnis terselubung seperti ini perlu diingatkan agar PTT tidak sembarangan dalam memberikan gelar dan diberikan hanya dengan membayar. Penerimaan keanggotaan seharusnya diseleksi dengan ketat dan bertujuan membina. Bagaimana disebut sekolah Injili dengan semangat kekudusan, pekabaran Injil dan Alkitab sebagai firman Allah, namun dalam praktik penyelenggaraan pendidikan teologi memakai praktik koruptif dalam pelaksanaannya?
Lebih dari itu, sudah lama PASTI disindir sebagai ajang “pelegalan” dan perlindungan sekolah-sekolah teologi abal-abal (tidak jelas). PASTI seharusnya tidak menerima dengan sembarangan PTT menjadi anggota, karena sulit rasanya membina PTT bila standar minimal perguruan tinggi tidak terpenuhi seperti ketersediaan gedung, dosen dan perangkat administrasi pendidikan dan akademik. Bila ini terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin PASTI akan ditinggalkan anggotanya yang merasa tidak nyaman karena PASTI dipakai alat kepentingan dan bukan persekutuan yang memajukan pendidikan teologi Injili di Indonesia.
Keenam, dalam membangun jejaring nasional dan internasional, PASTI masih sangat lemah. Minat mendaftar di ATA (Asia Theological Association) pun sangat kurang, sehingga kita tidak memiliki informasi dan jejaring yang kuat. Malahan masing-masing lembaga pendidikan teologi yang membangun jejaring sendiri. Sebagai contoh, tidak adanya “follow up” pembicaraan soal konferensi Injili sedunia terbesar yaitu Lausanne Conference. Bisa dibayangkan Lausanne Conference III yang diselenggarakan di Cape Town Afrika setahun yang lalu tidak ada dampaknya dalam konteks PASTI karena hampir tidak ada yang mengikutinya. Bahkan isu-isu Injili tahun 80-an masih dibahas. Di sini jelas PASTI masih kelihatan “jadul” dalam menghadapi era baru kaum Injili.
Dari berbagai catatan ini, kiranya pengurus PASTI dapat memicu diri untuk berbuat sesuatu untuk periode 2011-2015. Sayang sekali bila kepengurusan baru ini hanya berupa “display” nama (alias pameran nama) tanpa ada aksi dan kerja nyata. Saya secara pribadi khawatir bahwa PASTI akan tidak dapat berbuat apa-apa dan makin dijauhkan oleh sekolah-sekolah anggotanya. Quo Vadis PASTI? Pertanyaan ini seharusnya menjadi tantangan bagi pengurus baru untuk menetapkan arah perjuangan kaum Injili lewat pendidikan teologi dan menjadikan wadah PASTI bergengsi dan dihargai. Jangan sampai jadi tunggangan kepentingan sesaat. Semoga terwujud!
Baru saja selesai perhelatan “besar” PASTI (Persekutuan Antar Sekolah Theologia Injili di Indonesia) yaitu kongres PASTI ke-8 yang berlangsung tanggl 28-30 November 2011 di Graha Bethel Jakarta. Perhelatan ini dirangkaikan dengan Simposium Teologi dengan tema menarik Multiplikasi dalam Perspektif Teologi Injili. Dalam Kongres ini agenda besar utama adalah pemilihan kepengurusan yang baru dan juga penyusunan program kerja 2011-2015. Dalam kongres ini terpilih kembali Dr. Hendrik J. Ruru sebagai Ketua Umum dan Pdt. Nasokhili Giawa sebagai Sekum. Tentunya kita mengucapkan selamat untuk kepengurusan yang baru, dan kiranya dapat benar-benar bekerja sesuai dengan visi dan misi PASTI.
Namun ada beberapa catatan kritis yang perlu diberikan dalam kongres kali ini:
Pertama, sangat minim sekali kehadiran anggota PASTI yang berjumlah 85 sekolah teologi. Dinyatakan bahwa tidak sampai 50% PTT yang hadir. Bahkan yang ironi, sekolah-sekolah senior dan yang tidak diragukan kualitasnya justru tidak hadir atau tidak mengirim utusan. Nama-nama seperti STTII, STT Baptis, I3, STT Reformed Injili, STT Bandung, dan lainnya justru tidak mengutus sama sekali utusannya. Hanya STT Jaffray baik Makassar dan Jakarta yang mengutus utusan. Bahkan saya sendiri sempat kaget, karena ketika bertemu dengan salah satu pemimpin sekolah teologi besar mengatakan bahwa kongres ini ditunda sampai tanggal 5 Desember. Itu juga menyebabkan ada yang tidak hadir. Yang juga disayangkan, tidak adanya wakil pemerintah yang hadir dalam pembukaan, padahal siangnya (28/11) saat hari pembukaan, saya sendiri sempat rapat dengan pejabat di Bimas Kristen Kemenag RI. Yang aneh adalah tidak ada juga pimpinan PGLII (lembaga Injili) yang hadir, di mana seharusnya PASTI menjadi sayap penting dalam perjuangan gereja-gereja Injili di bawah naungan PGLII. Bahkan yang paling ironi, sebagian besar sekolah-sekolah teologi yang hadir hanya mengutus staf mereka (baik puket maupun dosen biasa) untuk acara akbar 4 tahunan ini. Bisa dibayangkan kualitas sebuah kongres bila pucuk pimpinan pengambil keputusan tidak menghadiri kongres. Ini menjadi semacam kongres asal-asalan saja diadakan. Apalagi ada salah satu pengurus inti PASTI periode 2007-2011, jelas-jelas ada di Jakarta namun tidak menghadirinya. Meskipun demikian, pada satu sisi ego sekolah sekolah teologi yang merasa dirinya “hebat” harus diturunkan dengan mau menghadiri acara ini. Seharusnya kita hadir tanpa harus memiliki pretensi diangkat menjadi pejabat di kepengurusan PASTI. Lembaga ini adalah milik kita dan tanggung jawab bersama untuk membesarkannya. Para pemimpin STT harus mau bersama bersekutu dan jangan sibuk dengan urusan sendiri.
Kedua, terpilihnya Dr. Hendrik J. Ruru kembali menyisakan banyak pertanyaan dan keraguan apakah PASTI akan bisa jalan lebih baik atau jalan di tempat atau tidak tahu akan dibawa ke mana? Beliau adalah orang baik, kaum profesional, dan seorang yang memegang jabatan penting di perusahaan multinasional. Apalagi saat ini beliau lebih banyak tinggal di luar negeri dan mengajar hanya bersifat “block teaching”. Tentu kita tidak meragukan kapasitas profesi beliau. Tapi bukankah lebih baik kalau Dr. Arnold Tindas (dari STT Harvest) yang menjadi Ketua Umum dan bukan menjadi Wakil Ketua. Dapatkah seorang yang bergerak di bidang non pendidikan teologi menahkodai sebuah lembaga pendidikan teologi Injili yang pernah sangat diperhitungkan di Asia? Mengapa beliau diminta terus naik, padahal secara tertulis beliau sudah menyatakan tidak bersedia dan akhirnya beliau meralat atas desakan peserta? Inilah kesalahan besar dalam strategi kepemimpinan PASTI. Apalagi periode 2007-2011, kepengurusan PASTI hampir tidak melakukan apa-apa yang signifikan. Hal itu diakui oleh beberapa pengurus yang lalu di mana mereka mengaku jarang sekali rapat kecuali ketemu waktu simposium.
Ketiga, materi simposium teologi pun dibuat asal-asalan di mana pembicara sendiri tidak memiliki keahlian di bidangnya. Tema multiplikasi menjadi suatu hal yang tidak lebih dari kajian minim sumber terbaru, minim pemikiran original dan hampir miskin sumbangan ilmu, karena ada pembicara tidak memiliki keahlian di bidangnya sesuai tema. Jadi acara simposium tidak lebih dari ajang “menggurui” dan peserta pun malas berinteraksi dalam sesi tanya jawab. Ke depannya, diharapkan bahwa simposium harus mengundang orang sesuai keahlian dan jika tidak ada ahli maka bisa diadakan dialog di mana ada saling “curhat” tentang pergumulan-pergumulan sekolah teologi saat ini.
Keempat, PASTI tidak melibatkan mahasiswa dalam acara ini. Padahal sepatutnya diundang mahasiswa-mahasiswa untuk dapat belajar bagaimana berorganisasi dan bersekutu bersama. Perhatian terhadap teolog muda tidak diberikan peran semestinya dalam pertemuan PASTI ini.
Kelima, tidak adanya pernyataan-peryataan yang bersifat kritis tentang berbagai hal dalam penyelenggaraan PTT (Perguruan Tinggi Teologi) seperti: 1) maraknya pendidikan teologi yang dijalankan asal-asalan; 2) tidak adanya kritik dan pengingatan kepada pemerintah (dalam hal ini Kemenag RI Bimas Kristen) agar tidak mengeluarkan izin penyelenggaraan sekolah secara mudah dan sembarangan hanya karena mampu membayar; 3) Disinyalir bahwa mendapat gelar sarjana sangat mudah, bahkan ada sarjana yang bisa didapat dalam tempo 3 bulan sampai 1 tahun. Ini tidak beda dengan kursus-kursus. Kok bisa disejajarkan dengan S1? Praktik koruptif sekolah teologi dan bisnis terselubung seperti ini perlu diingatkan agar PTT tidak sembarangan dalam memberikan gelar dan diberikan hanya dengan membayar. Penerimaan keanggotaan seharusnya diseleksi dengan ketat dan bertujuan membina. Bagaimana disebut sekolah Injili dengan semangat kekudusan, pekabaran Injil dan Alkitab sebagai firman Allah, namun dalam praktik penyelenggaraan pendidikan teologi memakai praktik koruptif dalam pelaksanaannya?
Lebih dari itu, sudah lama PASTI disindir sebagai ajang “pelegalan” dan perlindungan sekolah-sekolah teologi abal-abal (tidak jelas). PASTI seharusnya tidak menerima dengan sembarangan PTT menjadi anggota, karena sulit rasanya membina PTT bila standar minimal perguruan tinggi tidak terpenuhi seperti ketersediaan gedung, dosen dan perangkat administrasi pendidikan dan akademik. Bila ini terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin PASTI akan ditinggalkan anggotanya yang merasa tidak nyaman karena PASTI dipakai alat kepentingan dan bukan persekutuan yang memajukan pendidikan teologi Injili di Indonesia.
Keenam, dalam membangun jejaring nasional dan internasional, PASTI masih sangat lemah. Minat mendaftar di ATA (Asia Theological Association) pun sangat kurang, sehingga kita tidak memiliki informasi dan jejaring yang kuat. Malahan masing-masing lembaga pendidikan teologi yang membangun jejaring sendiri. Sebagai contoh, tidak adanya “follow up” pembicaraan soal konferensi Injili sedunia terbesar yaitu Lausanne Conference. Bisa dibayangkan Lausanne Conference III yang diselenggarakan di Cape Town Afrika setahun yang lalu tidak ada dampaknya dalam konteks PASTI karena hampir tidak ada yang mengikutinya. Bahkan isu-isu Injili tahun 80-an masih dibahas. Di sini jelas PASTI masih kelihatan “jadul” dalam menghadapi era baru kaum Injili.
Dari berbagai catatan ini, kiranya pengurus PASTI dapat memicu diri untuk berbuat sesuatu untuk periode 2011-2015. Sayang sekali bila kepengurusan baru ini hanya berupa “display” nama (alias pameran nama) tanpa ada aksi dan kerja nyata. Saya secara pribadi khawatir bahwa PASTI akan tidak dapat berbuat apa-apa dan makin dijauhkan oleh sekolah-sekolah anggotanya. Quo Vadis PASTI? Pertanyaan ini seharusnya menjadi tantangan bagi pengurus baru untuk menetapkan arah perjuangan kaum Injili lewat pendidikan teologi dan menjadikan wadah PASTI bergengsi dan dihargai. Jangan sampai jadi tunggangan kepentingan sesaat. Semoga terwujud!
Subscribe to:
Posts (Atom)