Sama seperti memilih perguruan tinggi pada umumnya, maka kita pun diminta hati-hati memilih sekolah teologi. Mengapa? Ini dikarenakan sekolah teologi yang berdiri di Indonesia makin menjamur. Menurut catatan Kemenag ada 300-an lebih sekolah teologi di Indonesia dan ada sebagian yang belum terdaftar dan memiliki izin penyelenggaraan. Seharusnya pendidikan teologi dijalankan dengan jujur karena berbicara atas nama Tuhan, tetapi ada banyak sekolah teologi dibuat asal-asalan, bahkan dibuat hanya untuk mendapat keuntungan dengan menjual ijazah kesarjanaan.
Bila demikian, bagaimana memilih sekolah teologi yang baik? Jika dulu kita hanya mengandalkan sekolah sinode, maka kini kita harus lebih hati-hati dan jeli. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih sekolah teologi. Tips ini hanya dasarnya saja dalam memilih, tentu sekolah teologi harus memiliki system mutu yang baku. Namun setidaknya, ini hal dasar dan prinsip awal dalam memilih sekolah teologi:
1. Status sekolah yang jelas
Sekolah yang baik memiliki status pendirian yang jelas baik dari sinode gereja atau yayasan. Lalu kemudian memiliki status izin penyelenggaraan dari pemerintah baik dari Kopertis atau Kemenag. Dan yang baik bila sekolah itu sudah diakreditasi BAN (Badan Akreditasi nasional). Ini penting karena pemerintah di tahun 2012 berencana menertibkan semua perguruan tinggi liar dan akan menerapkan sanksi bagi yang mengeluarkan dan memberikan gelar tanpa izin. Yang lebih penting, status itu sebenarnya untuk memastikan bahwa sekolah ini memang layak mendidik hamba-hamba Tuhan dan masyarakat gereja tidak dirugikan.
2. Jangan cari sekolah instan
Untuk jadi sarjana teologi S1 minimal dibutuhkam 4.5-5 tahun. Dan S2 minimal 2-4 tahun. Ini merupakan standar pendidikan tinggi umumnya, dan sekolah teologi lebih lama karena harus praktek minimal 6 bulan di gereja. Namun sangat disayangkan, banyak sekolah teologi memberikan gelar sarjana cukup sekolah hanya 6 bulan sampai 1 tahun untuk S1 dan 3 bulan untuk S2. Kurikulum tidak jelas, mengajar juga hanya asal-asalan dan formalitas. Jadi ada sekolah teologi hanya jualan ijazah. Sekolah seperti ini tidak layak dapat izin dan Kemenag dalam hal ini Ditjen Bimas Kristen harus memberikan sanksi dan mengadakan pengawasan yang benar-benar melekat dan tidak asal-asal mengeluarkan izin.
3. Dosen yang mengajar memenuhi persyaratan
Ada beberapa sekolah teologi membuat brosur dengan begitu banyak nama dosen dan gelar-gelarnya yang wah… luar biasa. Tapi kenyataan di lapangan membuktikan bahwa nama itu hanya pajangan dan hanya dosen tamu saja. Padahal sebuah prodi (program studi) minimal harus memiliki 6 dosen tetap. Tidak bisa sekolah teologi panggil dosen tamu saja dan tidak ada dosen tetap yang memadai. Saya pernah tahu ada sekolah teologi hanya 3 dosen tetapnya (si Ketua, istrinya dan satu stafnya). Sisanya semua dosen tamu. Sungguh tidak layak sekolah teologi berdiri dengan dosen asal-asalan. Padahal seorang dosen harus memiliki kesarjanaan yang mumpuni, punya pengalaman pelayanan, lalu ketika masuk ke dunia pendidikan haru mengikuti berbagai keterampilan mengajar seperti PEKERTI, AA, dan seterusnya. Bahkan diharapkan setiap dosen memiliki kepangkatan akademik dan sertifikasi dosen. Tujuannya agar seorang dosen menyadari fungsinya ada tiga yaitu mengajar, meneliti (research), dan melakukan pengabdian kepada masyarakat dan gereja (Tri Darma Perguruan Tinggi).
4. Ada lokasi sekolah dan fasilitas memadai
Sekolah teologi harus punya fasilitas pendidikan yang memadai yaitu kelas-kelas, perpustakaan dan berbagai sarana lainnya. Sayang ada sekolah teologi yang lokasinya tidak jelas, pakai rumah ketua yayasan, kontrak ruko kecil yang sangat tidak layak. Padahal paraturan pemerintah mensyaratkan adanya kepemilikan tempat sarana dan prasarana, atau jika menyewa minimal kontrak 5 tahun dan bisa dilanjutkan kemudian. Gereja dan orang tua seharusnya tidak mengutus anaknya ke sekolah teologi yang tidak jelas lokasinya dan minim sarana belajarnya.
5. Ada pembinaan rohani
Sekolah teologi berbeda dengan perguruan tinggi lainnya, di mana pembentukan mahasiswa tidak hanya soal intelektual saja. Harus ada pembinaan rohani seperti ibadah kapel, ibadah doa, berbagai seminar dan lokakarya, ada “mission trip” untuk melatih melayani, dan yang paling pentinf adanya disiplin yang baik. Orang tua dan gereja dalam memilih sekolah teologi harus mencari tahu apakah ada disiplin dan pembinaan rohani bagi anaknya. Jangan hanya berfokus kepada pendidikan intelektual saja tetapi pembinaan secara menyeluruh.
Jadi, panggilan seseorang menjadi hamba Tuhan harus dibarengi dengan kewaspadaan dalam memilih sekolah teologi, terutama yang dibuat asal-asalan. Jangan terlena dengan berbagai promosi yang menggiurkan karena sarjana teologi harus benar-benar ditempa menjadi serupa dengan Kristus dan bukan hanya kejar ijazah! Kiranya pemerintah, dalam hal ini Ditjen Bimas Kristen sudah waktunya bergerak untuk mengawasi dan menertibkan sekolah teologi asal-asalan. Gereja, dalam hal ini sinode gereja jangan berdiam diri, namun mengevaluasi kinerja sekolah teologi yang diasuhnya dan mengawasi sekolah teologi yang diterima sebagai pengerja di gerejanya. Gereja tidak bias lagi diam dan kompromi, bahkan harus bertanggung jawab atas kerusakan pemimpin gereja yang terbentuk asal-asalan. Jangan sampai nama Tuhan dan gereja dipermalukan.
No comments:
Post a Comment